Tanggal 17
Agustus memiliki makna penting bagi bangsa Indonesia sebagai peringatan atas
Kemerdekaan. Kata “merdeka” berhubungan dengan kata “penjajahan”, “perang”,
“belenggu”, “ikatan”, dan yang semacamnya. Pekik suara MERDEKA bergema mengiringi langkah-langkah para pejuang
kemerdekaan, sebagai tanda bahwa mereka ingin bebas, lepas dari belenggu
penjajahan. Sampai pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 kita dengar “Kami
bangsa Indonesia dengan ini menyatakaan kemerdekaan ....”, kemudian
sangsaka dwi warna berkibar.
Kata
“merdeka” juga identik dengan “kemenangan”. Kemenangan atas apa? Kemenangan
atas penjajahan, perang, belenggu, ikatan dan semacam itu pula. Siapa yang menjajah kita? Dahulu tentu
ada Belanda, Jepang dan (mungkin) banyak yang lainnya, yang menghujani para
pejuang dengan peluru, mortir dan bom. Tetapi saat ini penjajahan seperti itu
(mungkin juga) tidak lagi kita alami. Lalu apa penjajahan saat ini ? Menjawab
pertanyaan ini kita tidak bisa hanya melihat dengan mata telanjang. Bukan
berarti juga dijajah oleh makhluk halus tak kasat mata. Tanggapan atas hal ini
sepertinya hanya bisa dilakukan dengan cara melihat ke dalam, bukan ke luar.
Apa yang dimaksud ke dalam? Mungkin ke dalam diri, dan atau ke dalam sastra.
Bagaimana cara kita memberi makna pada kata “merdeka”,
“penjajahan” dan “perang” pada zaman “kemerdekaan” ketika kita (mungkin) tidak lagi mengalami
“penjajahan” dan “perang” secara fisik ?
“Bangkitlah,
O, Arjuna, putuskanlah untuk berperang ! Dengan memandang sama, kedudukan dan
kebahagiaan, keuntungan dan kerugian, kemenangan dan kekalahan, berperanglah !
” demikian kata Sri Kresna dalam kitab Bhagawadgita membangkitkan semangat sang Arjuna yang lunglai di tengah
medan perang, kuru ksetra, karena harus menghadapi dan membunuh
saudara-saudara sepupu hingga guru-gurunya. Cerita tentang peperangan dan
kemerdekaan sepertinya sangat digemari oleh leluhur kita, yang terwariskan
sampai ke kita. Hal yang demikian dapat kita saksikan dalam karya-karya yang
sampai saat ini masih dapat kita baca.
Bhagawan
Wyasa melalui epos Mahabharata (Astadasaparwa) dengan kisah hidup keluarga Bharata sebagai topik utamanya serta perang maha dahsyat yang penuh misteri,
senantiasa memikat perhatian kita. Lebih-lebih para cendekiawan, yang mengajak kita untuk menyelam ke dalam diri, alih-alih hanya hanya menyelami cerita. Jangan-jangan kita
tidak sedang membaca cerita, tetapi membaca tentang diri kita. Lalu
perang apa yang terjadi di dalam diri kita ? Siapa penjajahnya dan adakah
penjajah itu telah binasa serta panji-panji kemerdekaan telah berkibar ? Mari kita menyelisik beberapa karya leluhur kita agar tidak hanya lapuk
dalam kotak kaca pameran.
Mpu Sedah
misalnya, menulis
kakawin Bharatayuddha yang dalam bait pertamanya menguraikan tentang rana
yajna 'pengorbanan (dengan jalan) perang'. Pengorbanan
(yajna) dengan membinasakan seluruh musuh ; dengan suka hati menaburkan
bunga yang ada di rambut musuh yang gugur di medan perang; cuda mani para raja
yang gugur sebagai "bija" nya dan negara musuh yang terbakar
hangus sebagai api pemujaannya;
senantiasa mempersembahkan kepala musuh yang dipenggal di keretanya, ia yang
perkasa dalam peperangan". Bandingkanlah dengan perumpamaan ala Sang
Yogiswara (?) dalam kakawin Ramayana berikut. "Medan pertempuran itulah
tempat suci, musuh-musuh itu api- nya, senjata yang gemerlapan adalah nyala
api; keberanianmu adalah senduk pengorbanan, yang dikorbankan adalah hidup,
dengan badan sebagai caru, kemahiranmu mempergunakan lima macam senjata, itulah
lima macam upacaranya" (12 : 53).
Pertanyaan kita, adakah gambaran tentang perang tersebut adalah perang dalam diri sang pujangga ? Dan punggalan kepala musuh tersebut adalah musuh yang terdapat dalam dirinya juga ? Sebab menurut Kakawin Nitisastra musuh yang paling hebat terdapat dalam diri kita sendiri. “Tan hana musuh mangliwahane geleng hana ri hati”, 'tidak ada musuh yang melebihi kemarahan dalam hati'. Dan musuh yang bernama si Geleng tersebut masih punya anggota lagi, yang dalam Kakawin Nirartha Prakreta diberi nama : si Kopa (angkara), si Lobha (loba), si Moha (bingung), si Mada (mabuk), si Kujana (jahat) dan yang lain. Bandingkan lagi dengan bagian awal kakawin Ramayana berikut “ Keinginan ( hawa nafsu dan sejenisnya) itu adalah musuh yang paling dekat, di hatilah tempatnya tak jauh dari badan, iya itu tak ada pada beliau (Dasaratha), perwira (dan) pandai beliau akan politik”(1 : 4). Sang Yogiswara (?) menggambarkan prabhu Dasaratha sebagai tokoh yang “merdeka”, yang menang atas musuh-musuhnya terutama dalam dirinya sehingga tidak ada lagi musuh dalam hatinya. Lalu kita lihat lagi dalam Wretisasana “Musuh dalam diri ada lima jumlahnya, yaitu Kroda, Lobha, Moha, Raga, Dwesa. Kemudian bertambah sembilan sehingga menjadi empat belas, apa yang sembilan itu, inilah bagiannya Kalusa, Durta, Murka, Krura, Ninda, Damba, Mitia, Irsia dan Hingsa”. Seorang wiku, brahmana, pandita, dan sejenisnya wajib menghindari, lebih-lebih meniadakan keempat belas musuh-musuh itu dari dalam dirinya, sehingga tercapailah “kemerdekaan pikiran”.
Kemudian kita lihat lagi sebuah kisah. Seekor
singa betina yang kelaparan ingin menerkam anaknya untuk dijadikan mangsa. Di
tengah situasi mengerikan itu, hadir Sang Sutasoma memberikan nasihat dan
ajaran-ajaran mulia. Akan tetapi hal itu tidak berhasil mengubah niat singa
yang sudah diliputi kelaparan. Singa tersebut menyadari apa yang benar dan
salah, serta memahami nasihat Sang Sutasoma, namun karena lapar yang amat
sangat, ia tetap berniat memangsa anaknya. Mengetahui hal ini, Sang Sutasoma
menawarkan dirinya sebagai pengganti. Singa yang kelaparan dengan senang hati
menerkam dan memakan tubuh Sang Sutasoma.
Peristiwa
ini adalah sepenggal kisah dari Purasadhaśanta atau yang lebih dikenal
dengan Kakawin Sutasoma, di mana kita juga menemukan frasa terkenal
"Bhineka Tunggal Ika" yang menjadi semboyan bangsa Indonesia hingga
kini, sejak pertama kali dipakai saat awal “kemerdekaan”. Apakah kisah ini
menggambarkan konsep ideal dari Mpu Tantular tentang "manusia
merdeka"? Sebelum bertemu dengan singa kelaparan itu, diceritakan bagaimana
Sang Sutasoma, seorang pangeran, melepaskan kemewahan istana dan memilih
mengasingkan diri ke dalam hutan dan gunung, menghadapi berbagai tantangan
seperti Gajahwaktra dan Nagaraja dengan "kemerdekaan pikiran," dan
berhasil mengatasinya. Mpu Tantular
sebenarnya telah menjelaskan esensi ajaran spiritual kepada kita. Setiap ajaran
spiritual mengajarkan disiplin yang harus dihayati dan diikuti oleh para
penganutnya. Apa yang dilakukan oleh Sang Sutasoma merupakan refleksi dari
penghayatan disiplin tersebut. “Kedisiplinan” ini memberinya “kemerdekaan”.
Selain karya-karya dengan topik peperangan, agaknya leluhur kita juga
senang dengan karya-karya sastra yang menampilkan “tokoh merdeka” di dalamnya. Tradisi
mabebasan di Bali menunjukkan bahwa karya-karya seperti Kakawin Ramayana,
Sutasoma, Bharata Yudha, dan Arjuna Wiwaha selalu hadir dalam kegiatan
mabebasan tersebut. Tokoh-tokoh seperti Sri Rama, Sang Sutasoma, dan Panca
Pandawa dalam karya-karya ini menggambarkan perjuangan untuk meraih "kemerdekaan
pikiran" dengan penuh “disiplin”
pernah meninggalkan kenyamanan istana dan memilih menghadapi “penderitaan” di hutan.
Karya-karya yang tebal ini telah disalin berkali-kali dari
lontar ke lontar, hingga ke buku dan terus
dibaca serta diterjemahkan. Apa yang mendorong para peminatnya untuk
melakukannya? Apakah karya-karya ini masih memiliki nilai kebudayaan dan
kemanusiaan yang berharga hingga saat ini?
Sebagai
bangsa Indonesia, kita mewarisi karya-karya sastra ini termasuk wadahnya dalam bentuk naskah kuno dan
bertanggung jawab atas kelestariannya. Seperti yang dikatakan oleh Prof. A.
Teeuw dalam Majalah Basis (September, 1978:360)
"... bangsa yang melalaikan kekayaan kebudayaannya bukanlah bangsa yang
berbahagia; bangsa yang secara acuh tak acuh membiarkan warisan sastranya
terbengkalai sehingga digali, direbut, digarap oleh orang asing dan yang
paling-paling bersedia untuk menikmati hasil keringat orang asing itu bukanlah
bangsa yang sungguh-sungguh bebas merdeka". Apakah akan kita relakan orang
luar yang mendapatkan kemerdekan pikiran itu dari karya-karya warisan leluhur
kita sendiri, sedangkan kita hanya sibuk
menjadi musuh, baik dalam arti sesungguhnya maupun dalam maksud musuh atas diri
kita sendiri ?
Kemerdekaan senantiasa menjadi tujuan hidup manusia. Untuk mencapainya
manusia mesti melakukan sesuatu. Mari kita rayakan Hut Kemerdekaan Indonesia ini dengan kerja dan dengan usaha mengibarkan
panji-panji kemerdekaan dalam diri kita, agar kita
benar-benar menjadi manusia yang merdeka, atas diri kita dan untuk negara kita.
Merdeka !
P. Sumardika, 17082024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar