Jumat, 20 Januari 2017

Lontar Prasi




Dari hasil perjalanan wisata yang dilakukan  ke desa Tenganan ,dan bertemu dengan pakar pembuat lontar prasi yaitu bapak I Wayan Mudita, saya memperoleh beberapa informasi menarik mengenai lontar prasi. Namun sayangnya hanya sebentar dapat berbincang-bincang karena kondisinya yang sedang tidak enak badan ,akhirnya kami hanya mendapat penjelasan dari anaknya yaitu Bapak Parwata.  Lontar prasi menurut  bapak I Wayan Mudita awal mulanya berkembang di Buleleng . Kemudian seiring berjalannya waktu dan banyak orang-orang luar Buleleng yang mempelajarinya termasuk Wayan Mudita maka lontar inipun ikut dibawa pulang kedaerahnya dan dikembangkan disana. Wayan Mudita mulai membuat lontar ini kira-kira tahun 1953.
            Menurut penuturan anak beliau, proses pembuatan lontar prasi ini tidak terlalu rumit, cukup membutuhkan konsentrasi dan pengetahuan mengenai apa yang akan dilukiskan dalam lontar tersebut. Lama pembuatan untuk satu takep lontar ini tidak terlalu lama, paling lama satu minggu untuk pembuat-pembuat yang telah mahir. Cerita yang digambarkan dalam lontar ini sebagian besar adalah epos Ramayana dan Mahabrata. Tetapi yang paling digemari para turis kata pak Parwata adalah bagian epos Ramayana, dan itupun bagian yang menceritakan kisah Sang Rama di tengah Hutan sampai Dewi Sita diculik oleh Rahwana. Selain cerita tersebut ada gambar-gambar lain yang menyendiri atau tidak berbentuk cerita ,seperti gambar Saraswati,Barong , Rangda, dan gambar-gambar lain yang terdapat dalam tradisi spiritual Bali , serta ada juga yang bahan ceritanya  dari gambar-gambar  kalender atau yang lebih tepatnya Palelintangan ,yang berisi gambar-gambar tokoh yang menempati satu periode bintang atau zodiak  ala Bali.
            Mengenai alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan lontar ini sama seperti pada penulisan lontar-lontar pada umumnya yaitu menggunakan Pangrupak. Akan tetapi bentuknya agak sedikit dibedakan oleh para pengrajin lontar ini. Ada dua jenis Pangrupak yang dipakai yaitu untuk menulis aksara dan menggambar bentuk pada lontar Pangrupaknya sama seperti pada umumnya, sedangkan khusus untuk mengarsir atau menggambar garis tipis ,digunakan Pangrupak yang dibuat agak runcing dan tipis. Bagi para penggambar yang telah mahir seperti Bapak Mudita ini, tidak terlalu mempermasalahkan alat pangruak ini, cukup menggunakan jenis pangrupak pada umumnya dan dibutuhkan ketekunan serta ketepatan antara tebal tipisnya suatu goresan. Untuk pewarnaannya masih tetap digunakan bahan dari buah kemiri yang dibakar, sehingga terbentuk warna monoton. Ukuran dari lontar-lontar ini yang paling pendek  kira-kira 15cm sampai yang panjang 30cm. Bahan lontar yang digunakan didapat dari luar ,misalnya dari Kubu dan desa-desa dibagian timur Pulau Bali yang membuat lembaran-lembaran lontar siap pakai.
            Dalam proses pembuatan lontar ini, sebelum menggambar menggunakan pangrupak pada lontar, terlebih dahulu diseketh menggunakan pensil agar tidak terjadi kesalahan nantinya, sebab jika langsung menggunakan pangrupak kalau terjadi kesalahan tidak bisa dihapus.
            Untuk sebuah lontar yang telah selesai dibuat akan dihargai bervariasi tergantung ukuran, jenis gambar, dan pertimbangan dari si penjual sendiri. Kata salah seorang pedagang ,jika yang membeli itu memang senang dan benar-benar ingin mengoleksi maka harganya bisa lebih mahal, tapi kalau yang membeli hanya sekedar ingin tahu maka akan dijual dengan harga standar. Untuk harga dari satu buah lontar ini berkisar antara Rp. 150.000 sampai Rp. 900.000, bahkan menurut salah satu pedagang lontar prasi ini harganya bisa lebih dari satu jutaan rupiah. Untuk sebuah kalender prasi dihargai Rp. 150.000 sampai Rp. 200.000 sedangkan untuk prasi cerita Ramayana dan Mahabarata ini dihargai bervariasi mulai dari Rp. 150.000 ( standar ,untuk ukuran paling kecil) sampai Rp. 400.000 bahkan lebih ( untuk ukuran besar), bahkan jika cerita yang disajikan panjang bisa lebih dari Rp 900.000. Berikut contoh gambar prasi :


pulau Bali

 barong 

 epos Mahabaraha

 Bale Agung 


Dan masih banyak lagi gambar lain yang bisa ditemukan disepanjang jalan depan rumah penduduk disana. Jadi tinggal dipilih aja. 

Tarian Unik di Desa Ngis


Biacara tentang Kebudayaan Bali memang tidak ada habis-habisnya untuk dikupas. Bali banyak sekali menyimpan tradisi-tradisi yang unik baik yang bernilai religious maupun yang propan. Salah satunya yaitu tari-tariannya, yang bisa dibilang paling banyak
Di salah satu daerah di Kabupaten Karangasem terdapat suatu desa yang memiliki suatu tradisi yang unik. Tepatnya di desa Ngis ,Kecamatan Manggis. Tradisi tersebut tidak lain adalah Tari Mabuang yang hanya ada di desa tersebut saja. Tradisi mabuang di desa Ngis ini memang banyak menyimpan teka-teki. Menurut narasumber dari desa Ngis sendiri yakni I Wayan Witharaga yang merupakan salah satu tetua desa yang bergelar Kubayan lebih sering disebut Jero Kubayan, Mabuang merupakan sebuah tarian yang bernilai sakral atau religious. Bagi masyarakat desa Ngis ,tari ini merupakan tarian yang sangat unik dan memiliki banyak makna didalamnya.
Jika diamati lebih lanjut ,memang banyak sekali keunikan-keunikan dari tarian ini ,seperti cara menari dan peserta penarinya, yang lain dari tari-tari pada umumnya. Berbeda dengan tari pada umumnya yang ditarikan oleh beberapa orang , dalam tari Mabuang jumlah penarinya lebih dari seratus orang akan tetapi tidak sembarang orang yang dapat ikut menari. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat ikut dalam tarian ini. Lebih jelasnya tari ini hanya dilakukan oleh orang laki-laki. Bukan sembarang laki-laki yang dapat ikut menari melainkan hanya Krama Ngarep ,Pemaksan, Pauman ,dan Seka Truna saja.
Apa yang dimaksud Krama Ngarep ,disini dijelaskan bahwa Krama Ngarep adalah orang-orang yang berasal dari keturunan dari leluhur yang dahulunya merupakan orang-orang yang pertama menduduki desa tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Krama Ngarep ini merupakan orang-orang yang mendapat bagian tanah dari desa yang dalam ketentuan adatnya wajib bagi orang tersebut untuk ngayah ,mewakili anggota keluarga yang memiliki bagian tanah desa tersebut. Selanjutnya yang disebut Pemaksan disini adalah anggota masyarakat yang dahulunya ditunjuk untuk mewakili desa untuk ngayah atau mengerjakan sesuatu ,oleh raja pada masa kerajaan dahulu. Sering sekali hal ini disamakan dengan Krama desa ,namun disini berbeda. Akan tetapi sebagian besar anggota Pemaksan tersebut merupakan anggota dari para Krama desa namun tidak seluruhnya. Sekaa truna adalah anggota pemuda dari golongan laki-laki yang berasal dari keluarga masyarakat penduduk asli desa tersebut. Bagi para Krama, disini wajib memiliki seorang truna atau pemuda yang nantinya akan meneruskan kewajiban dari leluhurnya
.
Kembali pada tari Mabuang , yang selanjutnya cara menarinya yang sangat berbeda dengan tari lainnya yaitu, dengan cara berbaris dan berjalan melingkar ke kiri di natah/natar Bale Agung. Dengan urutan mulai dari penglingsir atau Tetua desa, diikuti Krama, Pemaksan, dan yang terakhir Sekaa Truna. Jika dilihat secara secara sepintas memang agak aneh ,seperti anak-anak bermain ular naga panjang. Akan tetapi jika dilihat dari atas atau digambarkan dalam garis hal ini sangat luar biasa dan mengandung makna filosofis yang tinggi yaitu terlihat seperti Pusaran Air /Pusaran Angin. Jika digambarkan akan terlihat seperti Ular melingkar atau jika dihubungkan dengan kepercayaan lain, terlihat seperti symbol Kundalini ,yaitu Cakra dasar dari manusia yang memberikan energy kehidupan. 
  
Prosesi gerakan tari ini pun juga berbeda yaitu dengan berjalan sambil menaikkan tangan dan kaki secara bergantian antara kanan dan kiri atau dalam istilah Bali disebut nengkleng. Misalnya, pertama tangan kanan dan kaki kanan ,maka selanjutnya adalah tangan kri dan kaki kiri. Saat mengangkat tangan ni, posisi tangan juga diputar perlahan kearah kiri, begitu pula pada tangan yang satunya yang dibawah.
Tarian ini dalam versi lain juga pernah disebutkan dalam penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh orang-orang luar maupun dalam negeri, yaitu ada di Desa Tenganan. Akan tetapi persepsi tersebut sedikit keliru. Memang tari ini juga ditarikan di Desa Tenganan akan tetapi penarinya adalah dari Desa Ngis. Proses pelaksanaannya yaitu saat Ngusaba Sambah atau saat akan dilakukan upacara Mageret Pandan. Yaitu pada dini hari/tengah malam sebelum prosesi mebat atau menggarap olahan daging kerbau sebagai sajian upacara dilakukan.
Disini akan ada dua utusan dari desa Ngis yang disebut saya atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan seperti piket. Dari dua orang ini ,salah satunya akan menarikan tari Mabuang di natar Bale Agung disana, dan yang satunya lagi Mamusti/Meditasi/Berdoa di Bale Agung.
Konon dikatakan oleh tetua-tetua dahulu, jika tidak ada utusan dari Ngis, maka upacara tersebut tidak akan berlangsung lancar, atau dengan kata lain belum dianggap selesai. Dikatakan seperti itulah perjanjiannya ,sehingga ada kaitan yang erat antara desa Tenganan dengan desa Ngis, akan tetapi hal tersebut sering dilupakan baik dari kedua pihak maupun salah satunya. Dijelaskan pula bahwa Kerbau di desa tenganan dahulunya adalah milik Leluhur Ngis, akan tetapi suatu saat pernah di Gadai ke desa Tenganan, sehingga sekarang Banten/saji upacara untuk menangkap kerbau tersebut dibuat di desa Ngis.
Tarian Mabuang ini mengandung makna filosofis yang begitu dalam dan berkaitan erat dengan berbagai kepercayaan tua diseluruh Indonesia. Makna tersebut antara lain :
a.       Penari laki-laki merupakan symbol dari kekuatan purusha atau energy alam yang selalu bergerak menuju pusat. Hal ini bermakna bahwa segala yang terlahir kedunia memiliki kekuatan untuk hidup dan menentukan kehidupannya.
b.      Penari yang berbaris merupakan symbol dari keterikatan antara satu dengan yang lainya dan selalu sama tidak ada perbedaan ,karena semua yang terlahir adalah sama dan selalu berurutan.
c.       Proses menari yang berjalan melingkar menuju arah kiri ,ini menunjukkan bahwa perputaran energy kehidupan akan selalu menuju ke pusat bumi. Seperti halnya putaran air, jika semakin surut ia akan berputar ke kiri ,bisa dibuktkan dengan cara melubangi ember pada bagian bawah, dan diisi air, semakin habis maka airnya akan berputar kearah kiri. Hal ini juga berkaitan dengan symbol pembukaan, yaitu membuka energy kehidupan yang baru, seperti halnya manusia ,yang tua akan berganti yang muda dan begitu seterusnya. Sama seperti ketika kita membuka tutup botol atau memutar baut, untuk membuka pasti akan diputar kearah kiri.
d.      Gerakan tari dengan mengangkat tangan dan kaki secara bergantian kanan dan kiri, merupan symbol daripada Rwa Bhineda , dua hal yang selalu ada dalam kehidupan ini, yang saling berbeda namun saling berkaitan, mereka dua namun satu, mereka terpisah akan tetapi juga menyatu, berbeda namun saling melengkapi, dan masih banyak lagi yang memang membingungkan untuk mengertikan dua hal ini akan tetapi mengandung makna yang sangat dalam dan luar biasa.
Demikian sekilas info tentang salah satu tari unik dari Desa Ngis, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. berikut gambar-gambar para penari Abuang ini

 Pemaksan

Krama
Truna


Selasa, 17 Januari 2017

Sinopsis Kdung Tunjung Biru



Sinopsis Kidung Tunjung Biru

Alkisah diceritakan seorang pemuda bernama Wargasantun sangat senang ke pasar bersama teman-temannya. Ia demikian karena ada seorang gadis yang disukainya di pasar. Setiap hari ia menunggu disebuah balai kecil yang dinaungi pohon beringin. Dari tempat itu ia selalu memandangi gadis yang disukainya.
Pada suatu pagi setelah ia selesai berdandan, pergilah ia ke pasar seperti biasannya. Beberapa saat kemudian datanglah gadis yang disukai bersama dua orang saudaranya. Tunjung Biru, demikian namanya bersama dua orang saudara yakni Tunjung Barak dan Tunjung Putih. Dikabarkan ketiganya adalah putri dari seorang kepala desa dar timur. Ketiganya senantiasa menjual bunga.
Setibanya di pasar dan selesai menggelar dagangan, datanglah Wargasantun bersama teman-temannya menghampiri sembari merayu mereka. Hingga sampai tiba waktunya untuk pulang mereka pun saling berpisah. Tetapi Wargasantun merasa ingin sekali mengikuti ketiga gadis tersebut kemanapun perginya. Bergegaslah ia menyusul para gadis dengan pelan-pelan berjalan dibelakang mereka. Ketiga gadis tersebut telah menyadari bahwa mereka diikuti dan tidak terlalu menghiraukan. Sampai pada suatu tempat mereka beristirahat dan Wargasantun menghampiri sambil bertanya-tanya sambil sesekali merayu.
Beberapa saat kemudian mereka berempat kembali melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan banyak keindahan yang ditemui sampai-sampai mereka kelangen. Hingga tidak sadar telah sampai dirumah para gadis. Sesampanya dirumah, ibu dari Tunjung biru segera menyapa dan mengantarkan Wargasantun bertemu dengan ayah Ni Tunjung biru. Disini terjadi percakapan panjang tentang masa lalu mereka. Sampai disadarilah bahwa ternyata mereka adalah berkerabat dekat. Wargasantun dan Tunjung biru adalah bersepupu. Disinilah muncul niat sang Ayah untuk menyatukan keduanya dengan jalan pernikahan. Segera setelah itu mereka dinikahkan.
Wargasantun sangat menikmati perjalanan cintanya hingga kebangku pernikahan dan kini tiba saat diperaduan. Keduanya saling melempar asmara dan senantiasa bercumbu. Suatu saat tibalah waktunya untuk bersembahyang ke Kahyangan yang ada di puncak gunung. Setelah semua dipersiapkan mereka bergegas berangkat. Sesampainya di tempat yang dituju mereka melaksanakan persembahyangan sebagaimana mestinya. Setelah selesai mereka diajak berkeliling menikmati keindahan oleh sang pendeta.
Disaat menikmati keindahan alam inilah mereka saling menyadari kehidupan dan akhirnya moksah hilang menuju kahyangan sorga. Disorga mereka kembali dipertemukan dengan orang tua masing-masing. Disinilah mereka diberi wejangan tentang arti hidup dan kehidupan. Banyak hal yang dituturkan sampai pada akhir cerita.